Pages

Subscribe:

Kamis, 26 Januari 2012

Cara Mengatasi Limbah Rumah Makan

Bagi rumah makan besar, sisa makanan merupakan limbah
yang memusingkan. Sampah makanan itu bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari
sayuran dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang,
misalnya tongkol jagung, tangkai-tangkai sayuran dan lainnya. Bisa juga sisa
makanan yang tidak habis disantap para tamu.
Penelitian yang dilakukan sejumlah mahasiswa Jurusan
Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang mungkin bisa mengatasi hal itu.
Para mahasiswa yang terdiri dari Amin Nungroho, RP Djoko Murwono dan Danny
Soetrisnanto ini mengambil sampel di unit usaha Paguyuban Argo Sebo Rumah Makan
Morolejar, Pakem, Sleman. Limbah rumah makan berupa sisa sayur-sayuran, sisa
ikan tawar dan ayam bersama dedak hasil penggilingan beras difermentasi dengan
menggunakan mikroba Nitrogen Phosphate Recovery Consentred Feed Product
Development Organism (NOPCO) selama lima hari. Hasil fermentasi kemudian
diblending dan dibuat pellet. Kemudian, diberikan untuk pakan ayam dan ikan
tawar. Peternakan ayam dan kolam air tawar itu memang merupakan unit uaha dari
rumah makan tersebut, untuk menyediakan pasokan bahan baku bagi rumah makannya.
Sedangkan untuk limbah padat organik rumah makan yang
tidak dapat digunakan untuk bahan pakan diperlukan dengan cara yang berbeda.
Limbah pertanian dan limbah peternakan berupa kotoran hewan itu difermentasi
dengan mikroba Nitrogen Fixation Phosphate and Kalium Microorganism Recovery (NOPKOR).
Dengan ditambah sedikit pupuk urea, TSP, KCl (1 persen), kompos yang dihasilkan
dari proses fermentasi itu akan menjadi pupuk organik yang diperkaya.
Kompos ini dikembalikan ke lahan pertanian sebagai
pupuk organik. Pemberian pupuk organik akan memperbaiki kondisi tanah pertanian
yang bisa saja unsur haranya terkuras oleh proses budidaya tanaman. Sedangkan
makanan berupa pelet yang diperoleh dari limbah restoran tadi bisa menghemat
ongkos budidaya peternakan ayam dan ikan air tawar. Sekaligus penghematan ongkos
pembuangan sampah. Menurut para mahasiswa itu, jumlah sampah yang tadinya
sebanyak empat truk setiap minggu, kini bisa ditekan hanya menjadi satu truk
setiap minggunya. Lumayan kan.
Pengomposan dengan mikroba NOPKOR dilakukan di sebuah
bak yang beratap di atas tanah berukuran 200 x 100 x30 cm. Limbah organik
dimasukkan ke dalam bak itu dan dipadatkan sampai setinggi 20 cm. Berikan pupuk
urea 0,75 kg, SP-36 0,50 kg dan KCl 0,50 kg yang merupakan makanan bagi mikroba
NOPKOR. . Kemudian siram dengan 2 liter cairan mikroba NOPKOR. Setelah itu,
masukkan lagi limbah padat organik sampai penuh dan padat (30 cm), terus tutup
dengan karung goni, sehingga terjadi kondisi fakultatif anaerob.
Kondisi demikian dibiarkan beberapa hari, tetapi suhu,
pH dan kelembabannya terus dikontrol. Bila ada tanda-tanda limbah padat organik
mengering, siram dengan air. Suhu dijaga agar tetap antara 40-60 derajat Celcius,
sedang kelembaban kurang lebih 60 persen. Pada hari ke-10, suhu turun di bawah
40 derajat celcius, limbah padat itu diaduk-aduk sampai rata, ditutup lagi
dengan karung goni dan dikomposkan lagi. Jika suhu naik, berarti telah terjadi
proses pengomposan. Bila kenaikannya melebihi 60 derajat celcius siram air dan
terus dipantau suhu, pH dan kelembabannya. Setiap 4 hari sekali dilakukan
pengadukan dan pembalikan, dan itu dilakukan sampai 3 atau 4 kali, hingga suhu
limbah tadi tidak naik lagi. Itu menunjukkan kompos tersebut sudah matang.
Proses ini memerlukan waktu antara 3 sampai 4 minggu,
tergantung bahan mentah dan kondisi lingkungannya. Kompos yang sudah matang
terlihat bila bahan sudah hancur dengan warna menyerupai tanah, tidak berbau,
suhu stabil, kompos mawur, kelembaban kurang lebih 30 persen, pH stabil 6.5-7.5
dan C/N sekitar10, C/P 3-5.
Bila
limbah sudah seperti di atas, berarti siap dipanen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar